Apa itu Generasi Sandwich?—Halo Sobat Trikamedians, kalian pastinya sudah familier dengan kata “sandwich”. Namun, apakah kalian pernah mendengar istilah mengenai “generasi sandwich“?
Generasi sandwich merupakan seseorang yang mempunyai peran ganda dalam persoalan keuangan, karena harus membiayai tiga generasi, yaitu dirinya sendiri, orang tuanya, dan anak-anaknya. Posisi mereka itu dapat diibaratkan dengan isian roti lapis yang harus menanggung beban kedua lapis “roti” atau generasi yang ada di atas (orang tua) dan di bawah (anak).
Istilah tentang generasi sandwich pertama kali dipopulerkan oleh Dorothy A. Miller, Profesor dari Universitas Kentucky tahun 1981. Selanjutnya, dalam jurnal berjudul The Sandwich Generation: Adult Children of the Aging, istilah mengenai generasi sandwich awalnya dipakai untuk merujuk wanita berusia 30–40 tahun yang harus merawat anak-anaknya sekaligus mencukupi kebutuhan orang tuanya, teman-temannya, dan oran lain yang berada di sekitarnya.
Generasi sandwich kenyataannya memang lebih banyak dialami oleh para wanita. Mengutip pernyataan Rebocho (2021), para wanita cenderung memberikan perhatian yang lebih intensif kepada orang tuanya dibandingkan dengan laki-laki.
Lebih lanjut, Rita, dkk (2023) memperjelas jika laki-laki biasanya hanya memberikan dukungan yang bersifat lebih praktis, misalnya memberikan uang atau barang-barang dalam bentuk mentah.
Yuk, simak uraian mengenai definisi, kategori, dan cara mengatasi generasi sandwich di bawah ini hingga tuntas, ya!
Dorothy Miller pertama kali memperkenalkan istilah “generasi sandwich” pada 1981. Generasi sandwich merujuk kepada individu yang tidak hanya mengurus diri sendiri, tetapi juga orang tua dan anak-anaknya. Istilah ini lantas dimasukkan ke dalam Merriam-Webster Dictionary pada 2016 dan pengertiannya terus berkembang hingga saat ini.
Awalnya, generasi sandwich hanya terbatas kepada tanggung jawab finansial terhadap orang tua dan anak kandungnya saja. Namun, pengertian ini berkembang seiring berjalannya waktu dengan mencakup generasi yang berada di atas dan bawah mereka yang masih termasuk dalam keluarga.
Keadaan ini dapat dianalogikan seperti halnya sandwich: sepotong daging yang terhimpit oleh dua buah roti. Roti itu diibaratkan dengan orang tua (generasi atas) dan anak-anak (generasi bawah), sedangkan isi pokok dari sandwich berupa daging, saus, dan mayones yang terhimpit oleh roti diibaratkan dirinya sendiri.
Rita, dkk (2023) menyebutkan bahwa generasi sandwich terjadi kepada seseorang, baik laki-laki maupun wanita, yang mempunyai umur 30–40 tahun. Namun, ada juga yang menyebutkan jika berkisar antara 30–50 tahun.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan lahirnya generasi sandwich adalah minimnya literasi keuangan. Banyak individu sebagai generasi pertama yang tidak mempersiapkan dana pensiun, sehingga generasi kedua perlu membantu memenuhi kebutuhan hidup. Pada saat yang sama, generasi kedua sendiri sudah berkeluarga dan memiliki tanggung jawab terhadap generasi ketiga.
Tingginya beban keuangan yang ditanggung generasi kedua sebagai generasi sandwich berdampak kepada ketidakmerataan distribusi beban finansial di antara tiga generasi. Generasi pertama dan ketiga cenderung tidak merasakan beban finansial yang sama.
Hal inilah yang menyebabkan seorang individu seharusnya memiliki literasi keuangan yang lebih untuk membantunya dalam mengambil keputusan finansial, seperti membayar tagihan tepat waktu dan melakukan investasi sesuai dengan usianya.
Sementara itu, tingkat literasi keuangan di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti Thailand dan Malaysia. Berdasarkan survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2019, tingkat literasi keuangan di Indonesia mencapai 38,030%.
Survei tersebut dilaksanakan terhadap 12.773 responden yang berada di 34 provinsi dan 67 kota/kabupaten dengan pertimbangan gender dan strata wilayah perkotaan/perdesaan yang terlibat dalam survei. Pada tahun yang sama, literasi keuangan Malaysia telah mencapai 85,000% dan Thailand telah mencapai 82,000%.
Salah satu gambaran mengenai generasi sandwich di Indonesia adalah banyaknya para orang yang merasa stres dan tertekan terhadap pengasuhan anak ketika orang tuanya (embahnya) selalu ikut campur. Mereka cenderung bersikap lebih baik menjauhkan pengasuhan anak dari embahnya.
Alasannya adalah untuk menghindari banyaknya konflik pengasuhan antara orang tua dengan embahnya. Namun nyatanya, banyak keluarga Indonesia yang “terjebak” dalam keluarga sandwich, yaitu keluarga yang di dalamnya terdapat tiga generasi tinggal dalam satu rumah (ayah-ibu dan anak-anaknya).
Tanggung jawab finansial terhadap tiga generasi ini kenyataannya memang dapat menyebabkan stres kepada individu sebagai generasi sandwich, yang pada akhirnya juga berdampak negatif kepada kebiasaan orang tua dan anak-anaknya.
Terbatasnya pilihan keuangan sebagai generasi sandwich juga tidak hanya menghasilkan generasi sandwich baru, tetapi juga dapat menurunkan kualitas hidup dalam keluarga. Keputusan keuangan yang diambil oleh individu setiap hari memiliki dampak kepada kualitas hidup secara keseluruhan. Hal ini nantinya juga berpotensi memengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM) secara nasional, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Carol Abaya mengelompokkan generasi sandwich menjadi tiga macam berdasarkan perannya, yaitu:
Kelompok ini biasanya terdiri atas orang dewasa berumur 40 sampai dengan awal 50-an yang masih harus menanggung beban orang tua, sekaligus mempunyai anak-anak yang masih memerlukan dukungan finansial.
Kelompok ini merupakan orang dewasa berumur 50–60 yang mempunyai tanggung jawab membiayai kakek-nenek (jika masih ada), orang tuanya, anak-anaknya, dan cucu-cucunya (jika memiliki).
Kelompok ini merupakan siapa saja yang terlibat dalam pengurusan orang tua, tetapi bukan secara profesional seperti halnya petugas panti jompo.
Hair, dkk (2017) dalam A Primer on Partial Least Squares Structural Equation Modeling menyatakan jika cara menghentikan siklus generasi sandwich memang tidaklah mudah. Hal tersebut dikarenakan proses pencegahannya membutuhkan konsistensi dan usaha yang lebih besar.
Namun, bagi kalian yang saat ini belum berada dalam posisi ini, ada enam langkah yang dapat diikuti agar tidak lagi mengalami beban berat ini, yaitu sebagai berikut:
Jika kalian kesulitan untuk menabung, pililah untuk membuka tabungan rencana. Tabungan rencana merupakan setoran rutin bulanan dengan fasilitas auto debit dari rekening sumber ke rekening tabungan rencana, sedangkan penarikannya terbatas sesuai ketentuan bank.
Jenis tabungan rencana sangat bervariasi, seperti wisata, pendidikan, pernikahan, haji atau umrah, dan sebagainya. Adanya tabungan rencana ini membuat keuangan dapat dikelola dengan bijak dan disiplin, apalagi tabungan tersebut juga dilengkapi dengan asuransi jiwa sesuai ketentuan masing-masing bank.
Selain menabung, program pensiun merupakan salah langkah penting untuk menyiapkan masa tua dan biaya anak-anak. Program pensiun dapat meminimalisir terjadinya generasi sandwich kepada anak. Saat ini, program pensiun tidak hanya terbuka untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), tetapi siapa saja dapat mendaftar di Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
Pertambahan usia juga dapat menyebabkan kesehatan menurun. Inilah yang menyebabkan seseorang harus memiliki asuransi kesehatan untuk dirinya sendiri, orang tuanya, dan anak-anaknya. Asuransi kesehatan memberikan jaminan rawat inap, rawat jalan, pengobatan gigi, penggantian kacamata, melahirkan, dan sebagainya.
Kalian dapat memilih asuransi kesehatan dari pemerintah (BPJS Kesehatan) atau dari perusahaan swasta yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menyesuaikan gaya hidup dengan kemampuan finansial merupakan langkah yang bijak. Namun, tidak ada salahnya kalian mengurangi gaya hidup konsumtif yang dirasa tidak perlu. Kalian harus dapat menentukan prioritas dan membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Jika Anda mengalami kesulitan dalam mengelola keuangan dengan bijak sejak usia muda, bisa jadi hal itu dapat menjadi satu penyebab munculnya generasi sandwich. Kalian harus mencoba untuk memulai dalam mengatur keuangan.
Banyak rumus yang berguna membantu kalian dalam mengatur keuangan. Sebagai contoh, pakailah 40% dari total penghasilan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari, 30% untuk membayar cicilan yang ada, 20% untuk ditabung, dan 10% untuk beramal.
Dana pendidikan anak juga tidak kalah pentingnya untuk mencegah mata rantai generasi sandwich. Orang tua yang memiliki asuransi pendidikan dapat menyiapkan biaya pendidikan anak-anaknya untuk masa mendatang. Hal ini tentu saja akan meringankan beban mereka di kemudian hari.
Sebelum menentukan asuransi pendidikan yang tepat, pastikan sebelumnya untuk memperkirakan perhitungan biaya pendidikan anak secara detail, seperti pemilihan sekolah yang disesuaikan dengan kemampuan finansial. Pilihlah perusahaan asuransi yang telah terdaftar dan diawasi oleh OJK.
Perilaku gemar menabung perlu diajarkan sejak dini. Orang tua harus mengajarkan anak-anak untuk belajar menabung, membedakan kebutuhan dan keinginan, serta memotivasi anak untuk membeli kebutuhannya dengan uang tabungan.
Selain menabung di celengan, ajaklah anak untuk membuka tabungan di bank dengan program khusus anak. Hal tersebut cukup efektif untuk membuat anak menjadi bersemangat menabung.
Generasi sandwich merujuk kepada individu yang tidak hanya mengurus diri sendiri, tetapi juga orang tua dan anak-anaknya. Keadaan ini dapat dianalogikan seperti halnya sandwich: sepotong daging yang terhimpit oleh dua buah roti.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan lahirnya generasi sandwich adalah minimnya literasi keuangan. Banyak individu sebagai generasi pertama yang tidak mempersiapkan dana pensiun. Tingginya beban keuangan yang ditanggung generasi kedua sebagai generasi sandwich berdampak kepada ketidakmerataan distribusi beban finansial di antara tiga generasi.