logo trikamedia white landscape

Mengenal Imposter Syndrome dan Cara Mengatasinya

imposter syndrome

Menurut artikel dari Harvard Business Review, sekitar sepertiga dari generasi muda mengalami imposter syndrome atau sindrom penipu. 70% dari semua orang kemungkinan besar akan mengalaminya suatu saat dalam hidup mereka.

Sindrom penipu sering kali dikaitkan dengan identitas dan rasa harga diri kita. Pada akhir tahun 70an, psikolog Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes menciptakan istilah ini dalam sebuah makalah penelitian, dan ada tiga ciri dari sindrom ini:

– Berpikir bahwa orang lain mempunyai pandangan berlebihan terhadap kemampuanmu

– Takut terungkap sebagai penipuan

– Kecenderungan terus-menerus untuk meremehkan pencapaianmu

Sindrom penipu biasanya muncul ketika kita memutuskan untuk mengambil peran baru atau tanggung jawab baru. Misalnya ketika kamu menjadi karyawan baru, atau baru pertama kali memimpin tim. Di mana, situasi yang tidak nyaman tersebut dapat menimbulkan perasaan ragu, cemas, hingga merasa bersalah. Orang yang mengalami imposter syndrome akan menyabot kesuksesan sendiri, terobsesi dengan kesalahan kecil, atau bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan diri.

Lalu, bagaimana cara mengatasi perasaan yang merusak tersebut? Berikut adalah beberapa strateginya.

Meminimalisir Imposter Syndrome

Mempertahankan pola pikir positif

Siapa yang pernah merasa tidak percaya terhadap diri sendiri?

Banyak dari kita cenderung meremehkan apa yang sudah kita lakukan atau capai. Hal ini bisa bersembunyi dari sikap rendah hati, kemudian mengabaikan pencapaian tersebut dan mengatakan bahwa yang kita dapatkan adalah hasil dari keberuntungan. Meskipun rendah hati adalah sifat yang baik, namun jika berlebihan akan mengakibatkan kerugian.

Contohnya, ketika atasanmu memberi tugas yang kamu rasa tidak mampu untuk memimpinnya, kamu menjadi ragu. Daripada terus memikirkan alasan atasanmu memilihmu untuk tugas tersebut, atau memikirkan segala sesuatu yang mungkin salah, tetaplah berada di masa sekarang dan akui kenyataan yang ada. Faktanya adalah atasan percaya dan memilihmu karena ia yakin kamu memiliki kemampuan untuk mengerjakannya.

Merayakan kemenangan

Fokus pada proses memang baik. Namun, jangan lupa untuk menikmati dan merayakan apa yang sudah kita capai sebagai bentuk rasa syukur atas segala upaya kita. Tidak apa-apa untuk berhenti sebentar dan menghargai diri sendiri. Mungkin beberapa di antara kita ada yang merasa bahwa mengambil jeda adalah hal sia-sia dan membuang waktu berharga. Tapi, cara tersebut adalah cara paling sederhana untuk membuang imposter syndrome.

Misalnya, jika kamu menulis postingan di LinkedIn untuk merayakan pekerjaan baru, pertimbangkan untuk menyebutkan apa yang kamu pelajari selama proses perekrutan. Apakah kamu menyadari bahwa soft skill A, B, atau C sangat penting selama kamu menjalani proses perekrutan. Apa pun itu, ceritakan saja dan jangan disimpan sendiri. Kamu tidak akan pernah tahu siapa saja orang yang mungkin akan terpengaruh secara positif dari ceritamu.

Kamu juga bisa merayakannya dengan makan malam di resto atau kafe favorit, bercerita ke sahabat, atau membeli suatu barang yang bermanfaat untuk diri sendiri. Lakukan sesuatu untuk dirimu. Tidak harus besar, tetapi itu penting bagimu. Mengutip dari artikel Harvard Business Review, saat kita menyadari kemenangan kita (berapa pun ukurannya), otak kita melepaskan neurotransmitter dopamin yang membuat kita merasa nyaman, yang memotivasi kita untuk mencapai lebih banyak lagi.

Menggunakan media sosial dengan bijak

Kamu dapat memanfaatkan internet secara positif untuk menghilangkan imposter syndrome. Cari tahu orang yang kamu kagumi dan bagaimana mereka dapat mencapai posisi mereka saat ini. Misalnya, Michelle Obama. Lewat Google, kamu akan tahu dan melihat videonya di YouTube tentang perasaan dan imposter syndrome yang ia alami sepanjang karirnya. Risiko yang diambilnya membuahkan kesuksesan dan menjadi pengingat untuk kita bahwa jangan pernah meragukan potensi dirimu.

Agar kamu bisa mengatasi imposter syndrome lewat internet, latih kesadaran diri saat berselancar di sosial media. Tidak apa-apa untuk unfollow orang yang menjatuhkanmu dan fokus pada konten yang memberikan dampak positif untukmu.

Membuat rencana yang terorganisir

Cara baik untuk mengelola perasaan cemas adalah dengan mengatur diri. Kamu dapat membagi tujuan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola, lalu rencanakan untuk mencapainya satu per satu. Meskipun menyelesaikan banyak tugas bisa terasa membebani, bersikap konsisten akan membawamu jauh lebih baik.

Seperti yang dituliskan oleh James Clear dalam bukunya, Atomic Habits, kamu dapat menyisihkan waktu di kalender untuk mengerjakan tugas terpenting dalam seminggu. Clear merekomendasikan penjadwalan sejumlah waktu untuk menyelesaikan beberapa tugas yang lebih kecil dan berdampak lebih rendah (membaca email, menyalin, menjadwalkan, dll.) dan memisahkan sejumlah waktu untuk bekerja secara eksklusif pada proyek yang berdampak lebih tinggi (satu per satu). Dengan cara ini, kamu mengatur apa yang perlu kamu lakukan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Imposter syndrome bisa dialami oleh siapa saja, tidak terkecuali kita yang membaca artikel ini. Bagian penting dari perjalanan mengatasi imposter syndrome adalah belajar dari pengalaman yang sudah dialami. Tidak semua nasihat bisa diterapkan untuk orang lain, meski mungkin nasihat itu cocok untuk kita. Jadi, penting untuk membuat catatan atau melakukan tinjauan dari kejadian yang kita alami, dan renungkan apa yang terbaik untuk kamu lakukan.